Begitu
judul sebuah cerita pendek karya penulis Rusia Yuri Trivonof. Terbit pada tahun
1967. Bercerita tentang sebuah kota yang terletak di Provinsi Blagoevgrad,
barat daya Bulgaria. Kota ini bernama Melnik. Terletak di sebelah barat daya
gunung Pirin yang merupakan bagian dari semenanjung Balkan atau yang lebih dikenal dengan nama
Balkan Peninsula.
Saya
sampai di Melnik saat musim dingin hampir selesai di Bulgaria. Peristiwa
tersebut terjadi kurang lebih dua tahun lalu. Menggunakan bis dari Sofia, ibu
kota Bulgaria, dengan waktu tempuh kurang lebih empat jam perjalanan. Sesuatu
hal yang tak dapat hilang dari memori adalah dunia di luar kaca jendela selama
empat jam saat musim semi menjelang.
Bentangan
pengunungan Balkan berlari cepat ke belakang. Di beberapa puncak masih terlihat
sisa-sisa es, sementara di bagian lain rumput hijau mulai bertumbuhan.
Pohon-pohon besar memang masih terlihat kering. Hanya reranting. Tetapi di
beberapa kelokan saya menjumpai rerimbunan perdu yang bunganya mulai
bermunculan. Kuning. Putih. Merah. Beraneka rupa. Tak henti kepala saya menoleh
keluar jendela.
Sesekali
saya bercakap-cakap dengan teman perjalanan, Elena Ruseva. Elenalah yang
memiliki ide untuk menghabiskan akhir pekan di Melnik. Menurut Elena, dia hanya
sekali ke Melnik ketika dirinya masih remaja bersama teman-teman sekolahnya.
Dan selalu ingin kembali ke kota tersebut tapi selalu saja tak ada waktu
ataupun tak ada teman. Hingga akhirnya saya sampai di Sofia, Bugaria, menginap
di apartemennya, dan kesampaianlah keinginannya tersebut kembali Melnik. Kali
ini bersama saya.
Barangkali
Melnik bukan kota terkecil di dunia seperti yang dituliskan oleh Yuri Trifonof
dalam novelnya. Namun sudah dapat dipastikan bahwa ini adalah kota terkecil di
Bulgaria. Hanya berpenduduk kurang lebih tiga ratus orang terletak di
ketinggian 400 meter di atas laut. Sampai hari ini pemerintah masih
mempertahankan eksistensi kota Melnik dengan alasan historis.
"Apa
alasan kita berangkat ke Melnik?” Tanya saya kepada Elena ketika masih berada
di dalam bis.
“Bukankah
kau pernah bilang bahwa ingin melihat Bulgaria di abad pertengahan dan
masa-masa renaissance?” Elena menjawab sambil mengarahkan kameranya, memotret
luar jendela yang memamerkan gerombolan kuda, menikmati akhir musim dingin bersama
rerumputan segar yang baru tumbuh.
Abad
pertengahan memang selalu menarik. Inilah abad kebangkitan religi di hampir
setiap sudut benua Eropa. Pada masa ini ilmu pengetahuan dan kesenian
dimanfaatkan untuk kepentingan agama. Aliran abstrak dalam kesenianpun muncul
di masa-masa ini, disebabkan oleh banyaknya larangan pengeksposan tubuh manusia
dan hewan. Muncul banyak sensasi penciptaan karya seni tanpa adanya kehadiran
bentuk realis. Bukan hanya ilmu pengetahuan dan kesenian, namun religi menjadi
kekuatan besar yang memengaruhi hampir kegiatan manusia. Termasuk politik dan
pemerintahan.
“Di
Melnik, selain peninggalan sejarah dan kebudayaan orang-orang Balkan, kau juga
akan menyaksikan gunung pasir yang telah menumpuk selama ribuan tahun yang
berubah menjadi keemasan ketika matahari senja menyergap.”
Elena
tampak semangat menceritakan kota terkecil di Bulgaria tersebut. Saya semakin
penasaran. gunung pasir? Seperti apakah gerangan bentuknya?
Lewat
tengah hari kami sampai. Tidak ada terminal di kota ini. Hanya satu tempat
perhentian bis. Tak jauh dari tempat berhenti terpampang penunjuk arah beberapa
tempat yang harus dituju, juga ada pamflet yang berisikan jadwal kedatangan dan
keberangkatan bis dari dan menuju ke Melnik. Melnik tak terlihat seperti kota.
Bagi saya wilayahnya terlalu kecil untuk dapat dikatakan sebagai kota. Tak ada
mall. Tak ada jalan tol. Tak ada gedung megah.
Belum
lama kami turun dari bis, orang-orang yang tadinya bersama kami sudah buru-buru
mengeluarkan kamera mereka. Memotret jalan setapak. Memotret susunan rumah yang
terlihat sama. Memotret dua ekor anjing kecil yang sedang bergurau. Memotret
gugusan bukit yang berdiri gagah mengepung kota. Inikah timbunan pasir yang
menggunung itu? Saya tak perlu bertanya kembali ke Elena, sebab saya sudah
sangat yakin tentang apa yang diceritakannya tadi ketika kami masih berada di
dalam bis. Gunung-gunung tersebut memang berasal dari pasir. Dan juga tumpukan
tanah liat. Luar biasa. Membentuk seperti piramida.
Saya
juga mengikuti tingkah laku orang-orang. Mengambil kamera dan memotret apa saja
di sekitar. Terutama gugusan piramida pasir. Seperti saya, orang-orang yang
datang ke Melnik sebagian besar adalah turis. Baik dari Bulgaria, maupun dari
negara-negara lain. Sehingga wajar jika kemudian terdapat banyak toko suvenir
di pinggir-pinggir jalan.
“Lupakan
sebentar betapa indahnya piramida pasir tersebut. Yang terpenting sekarang
menemukan hotel terlebih dahulu.”
Elena
setengah berteriak karena ternyata dia telah berjalan jauh meninggalkan saya
yang masih terkagum kagum dengan piramida pasir tersebut.
Kami
melanjutkan langkah. Memasuki kota Melnik lebih dalam. Saya merasakan tiba-tiba
saya masuk ke dalam masa lampau. Rumah-rumah indah beratapkan genteng. Jalan
sempit. Jalan batu dan gerobak sarat dengan barel anggur. Kota ini begitu
tenang. Kota kuno di negara sekecil Bulgaria. Barangkali inilah alasan utama
Elena mengajak saya untuk datang ke Melnik. Abad pertengahan. Ya, saya berada
di abad pertengahan.
Udara
dingin merayap. Menyambangi saya dan Elena yang sedang berjalan menyusuri
Melnik. Jaket tebal yang tadinya saya lepas, kembali saya kenakan. Mata saya
yang berlindung di balik kaca mata hitam tiba-tiba menabrak botol-botol anggur
yang berderet begitu saja di pinggir jalan. Jumlahnya begitu banyak. Bahkan di
depan sebuah toko suvenir yang saya lewati, ada banyak terdapat miniatur tempat
penyimpanan anggur yang terbuat dari kayu dengan berbagai ukuran.
Elena
menjelaskan bahwa Melnik tak bisa terlepas dari sejarah panjang pembuatan anggur
yang luar biasa. Menurutnya, ketika kita mencicipi anggur merah (red wine)
di Melnik, seketika kita akan meragukan bahwa anggur terbaik hanya ada di
Perancis. Saya bukan penikmat anggur sebenarnya. Tapi saya bisa memahami
kebanggaan di wajah teman saya tersebut.
Bulgaria
memang bukan negara besar. Sejarah peperangan dan pendudukan dari masa ke masa
membuat negara ini semakin hari semakin terdesak. Tapi tentu saja selalu ada
yang bisa dibanggakan. Dan kali ini kebanggan dari wajah perempuan Balkan itu terpancar
dari kesetiaan masyarakat Melnik merawat anggur mereka dari masa ke masa.
Di
Melnik, bisnis pembuatan anggur telah begitu makmur selama berabad-abad.
Rahasia perdagangan melintas dari generasi ke generasi. Belum lagi didukung
oleh iklim mediterania yang memungkinkan untuk membudidayakan anggur yang tepat
di daerah ini.
Kami
sampai di hotel. ini bukan hotel bintang lima yang megah. Melainkan tempat
sederhana dengan harga yang tak terlalu mahal. Tapi betapa terkejutnya saya
ketika sampai di kamar di lantai dua. Di luar jendela, pegunungan pasir yang
tadi saya lihat saat baru turun dari bis, terhampar begitu nyata. Dan juga
deretan rumah-rumah abad pertengahan. “Saya betah berlama-lama tinggal di
sini,” kata saya kepada Elena yang masih sibuk memindahkan isi tasnya ke dalam
lemari. Melongok ke bawah, jalan di seberang hotel terdapat toko souvenir
dengan disain tradisional yang begitu menawan.
Elena
mengajak saya ke bawah. Turun menuju restoran. Kami memesan ikan bakar dan dua
botol bir. Juga ada kentang yang diolesi dengan butter ditambah salad
yang dicampur dengan minyak zaitun. Rasanya sulit saya ceritakan di sini. Tak
ada nasi memang. Tapi makanan di sini membuat saya lupa dengan perut saya yang
semakin membesar. Nikmat. Delicious!!!
Selain
pelayan, hanya kami berdua di restoran tersebut. Tiba-tiba seorang lelaki
setengah baya keluar dari dalam hotel dan masuk dengan membawa beberapa
potongan kayu. Lelaki tersebut kemudian memasukan kayu tersebut ke dalam api di
sudut restoran. Ruangan menjadi sedikit hangat seketika. Saya memotretnya. Dia
melirik. Saya tersenyum kepadanya. Tapi senyum itu tak berbalas. Seperti orang
Balkan kebanyakan. Lelaki itu tak terlihat ramah. Kaku. Matanya tajam setajam
sembilu. Beberapa detik kemudian lelaki itu menuju bar. Bercakap-cakap dengan
pelayan restoran. Kembali dia melirik saya. Kembali saya tersenyum. Tak tau apa
maksud senyum yang saya berikan. Barangkali karena sudah kebiasaan sebagai
orang yang lahir dan dibesarkan di timur dunia. Tiba-tiba dia datang melangkah
menuju saya dan Elena. Rona wajahnya tak berubah. Ada kekhawatiran sedikit
dalam diri saya. Ada apakah gerangan?
Elena
menjatuhkan tangannya di pundak saya. Isyarat agar saya tetap tenang. Lelaki
itu kemudian berbicara dengan Elena dalam bahasa Bulgaria. Saya tidak mengerti.
Masih sedikit khawatir demi melihat matanya yang begitu tajam.
Kemudian
Elena menjelaskan kepada saya dalam bahasa Inggris, bahwa tak semua orang di
daerah Balkan senang jika dipotret. Jika ingin mememotret seseorang, sebaiknya
kita minta izin terlebih dahulu. Saya merasa bersalah dan meminta maaf terhadap
lelaki tersebut.
“Tidak
apa-apa. Lain kali untuk lebih hati-hati mengambil gambar di daerah ini,”
katanya dalam bahasa Inggris patah-patah. Saya menggangguk dan sekali lagi meminta
maaf.
“Kau
datang dari mana?” dia bertanya. Tak terlalu lancar bahasa Inggris lelaki
tersebut. Namun saya dapat memahaminya. Pelafalan huruf ‘R’ begitu kentara.
Saya ceritakan kepadanya bahwa saya datang dari Indonesia. Dia terkejut. Mulai
tersenyum. Katanya, dia sudah melihat begitu banyak orang dari penjuru dunia
datang ke Melnik. Tapi baru kali ini dia bertemu dengan orang dari Indonesia.
Elena mempersilahkan lelaki
tersebut untuk duduk bergabung bersama kami. Dia duduk setelah memanggil
pelayan untuk membawa tiga gelas red wine.
“Free
for my guest,” katanya. Dan kali ini dia tersenyum. Dari Elena, saya baru
mengetahui bahwa lelaki yang memasukkan kayu ke dalam perapian adalah pemilik
hotel tempat kami menginap. Kemudian dia dan Elena bercakap-cakap dalam bahasa
yang tidak saya mengerti. Sesekali Elena mencoba menerjemahkan apa yang mereka
percakapkan.
“Di
Melnik, anggur bukan satu-satunya kebang-gaan,” kata Elena setelah mendengarkan
penjelasan dari lelaki tersebut. Di daerah ini juga terdapat museum sejarah
yang disebut Pashova House, juga ada Kordopulov House (museum
tempat pembuatan anggur), reruntuhan gereja abad pertengahan, tak jauh dari
kota juga terdapat biara Rozhensky yang sangat terkenal. Saya hanya mengangguk
mendengarkan penjelasan tersebut.
Tapi
lelaki tersebut seolah tak mau berhenti berbicara. Dia terus bercerita kepada
Elena. Dikatakannya bahwa Melnik merupakan serambi abad pertengahan bagi
bangsa-bangsa Eropa.
Jauh
ke belakang, menurut lelaki itu yang diterjemahkan oleh Elena, orang-orang yang
pertama mendiami Melnik adalah bangsa Trakian. Berabad-abad kemudian datang
orang Romawi. Membangun pemerin-tahan di daerah ini. Namun nama Melnik
sebenarnya berasal dari bangsa Slavia yang datang kemudian. Dalam bahasa
Bulgaria, Mel berarti tanah liat putih. Formasi pasir yang mengelilingi
kota yang berpadu dengan tanah liat inilah yang kemudian dipercaya darimana
nama Melnik berasal. Barulah pada abad ke-7 Melnik menjadi bagian dari
kekaisaran Bulgaria pertama di bawah pemerintahan Khan Presian I. Pada masa
itu, Melnik merupakan kota yang sangat makmur.
Di
dalam hati, saya mengagumi lelaki ini. Tak banyak senyum. Terlihat tidak ramah.
Namun ketika bercerita, begitu paham dia dengan sejarah. Ah, andai saja ada
banyak orang seperti ini di negara tempat saya bermukim.
Tak
terasa hari sudah sore. Elena memotong percakapan kemudian membayar makanan
kami. Dia minta izin kepada lelaki tersebut untuk membawa saya berjalan-jalan
keluar menyaksikan cahaya matahari yang bersinar di tempukan piramida pasir.
Lelaki itu mempersilahkan. Kami berdua keluar. Jaket tebal kembali saya
kenakan.
Belum
lama menyusuri jalan setapak. Kembali saya terpesona. Piramida pasir dalam
berbagai bentuk yang merupakan pemandangan awal saya sejak turun dari bis, kali
ini berubah warna. Saya membayangkan ada tumpukan emas di dalam gunung pasir
tersebut. Dan emas itu bercahaya. Keluar kepermukaan pasir dan memesonakan
siapa saja yang melihatnya. Amazing. Entah berapa puluh gambar yang saya
ambil dengan objek yang sama.
Ketika
hari gelap. Kami kembali ke hotel. Makan malam di sebuah restoran tradisional.
Lalu berisitirahat untuk menikmati Melnik keesokan harinya.
***
Kordopulov
House. Itu tempat yang kami pilih untuk kami kunjungi pagi harinya. Cerita
tentang pembuatan anggur membuat saya penasaran terhadap rumah yang saat ini
menjadi museum kebanggan orang-orang Melnik tersebut. Tempat ini pasti sangat
istimewa. Hendak masuk saja kami harus berbaris mengantri.
Rumah
ini dibangun pada tahun 1754 khusus untuk produksi anggur dibeli oleh seorang
pedagang kaya dari Yunani bernama Kordopulos. Pada masanya rumah ini merupakan
bangunan terbesar dan termegah yang berdiri di atas tanah Melnik. Kami masuk ke
dalam setelah membayar tiket di pintu depan. Saya melihat orang-orang sangat
hati-hati melangkahkan kaki mereka menelusuri tiap sudut ruangan. Mereka,
termasuk saya dan Elena, bergantian dengan tertib masuk dari ruangan satu ke ruangan
yang lain. Begitu megah. Di rumah inilah keluarga Kordolupus mengembangkan
perekonomian di Melnik dengan perdagangan anggurnya.
Di
beberapa bagian dinding rumah masih terdapat berbagai macam peninggalan seperti
pakaian tradisional Bulgaria, lukisan, juga peta. Pengurus museum tampaknya
sangat ingin memanjakan para pengunjung dengan tidak mengubah disain rumah abad
ke-16 ini. Ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, semua masih berada pada
posisinya. Termasuk kain tradisional Bulgaria yang terbuat dari benang wol.
Luar biasa.
Rumah
ini juga sangat unik sebab tak hanya didisain dalam satu gaya arsitektur. Di
bagian bawah, terdapat 12 buah jendela yang merupakan gaya asli Bulgaria.
Sedangkan di bagian atas merupakan perpaduan gaya Ottoman dan juga Venesia.
Terbuat dari kaca yang berasal dari Venesia. Kami terus menelusuri rumah yang
sangat besar ini. Hingga akhirnya kami sampai kepada sebuah pintu yang membawa
kami ke terowongan bawah tanah.
“Kita
menuju ke gudang tempat pembuatan wine,” Elena berbisik ke telinga saya.
Terowongan
agak gelap. Disinari lampu merkuri berwarna kuning dengan suhu yang sudah
disesuaikan untuk menjaga citarasa pembuatan anggur. Awalnya saya berpikir
bahwa rumah ini sudah berubah menjadi museum dan drum-drum yang berada di terowongan
hanya sebagai pajangan. Tapi ternyata tidak. Sebagian masih digunakan untuk
memroduksi wine sampai hari ini. Dengan cara yang sama tradisionalnya
seperti ratusan tahun lalu. Wajar jika kemudian orang-orang Bulgaria bilang
bahwa wine Perancis adalah wine yang paling enak perlu diragukan.
Di
dalam gudang bawah tanah tersebut, mampu menampung anggur sebanyak 300 ton
dengan tong terbesar bisa terisi sebanyak 12,5 ton anggur. Ini luar biasa.
Setiap koridor dan terowongan yang terdapat di gudang bawah tanah berukuran
relatif sempit dan rendah. Sesekali kami berjalan mengendap-endap. Penasaran
dengan apa yang terjadi di tempat ini pada abad pertengahan. Hingga akhirnya
banyak jalur terowongan tersebut bermuara ke sebuah ruangan. Dan apa yang
terjadi?
Ruangan
tersebut sudah didisain sedemikian rupa. Ada bar yang hanya menyediakan anggur
merah. Juga meja kursi berukuran agak besar. Di atas meja, puluhan gelas berisi
anggur tersedia. “Berapa harga segelas wine di sini? Kalau tidak terlalu mahal,
bolehlah kita mencoba,” kata saya kepada Elena. Yang ditanya tersenyum.
“Kalau
kau mau membeli wine, kenapa harus membeli segelas? Belilah sebotol
minimal,” kata Elena kemudian pergi mengambil segelas wine tanpa
membayar apapun. Ternyata puluhan gelas berisi red wine tersebut free.
Kalau kita tidak malu kita bisa menengguknya sebanyak yang kita inginkan.
Sayapun mencobanya.
“Mau
lagi?” Elena menawarkan segelas lagi. Saya menolak sambil mengucapkan terima
kasih. Saya bukan seorang peminum. Pasti saya akan mabuk jika harus tambah
lagi. Meskipun tak terlalu mengenal tentang cita rasa wine dari satu
negara ke negara lain, tapi saya mengakui bahwa red wine dari Melnik
adalah salah satu yang patut dicoba. Pengalaman meminum anggur yang telah
menjadi tradisi sejak ribuan tahun silam adalah sesuatu yang tak bisa
terlupakan.
Merasa
puas berada di rumah orang terkaya di Melnik di abad pertengahan, kami keluar.
Berjalan menyusuri Melnik ke arah yang lebih tinggi. Dari atas bukit, kota
Melnik terhampar. Dari atas bukit, kota abad pertengahan merayap masuk ke dalam
memori yang tak terlupakan.
0 comments:
Post a Comment