Tersesat di Sungai Amstel


Houseboat di Pinggiran Sungai Amstel

“Kalau ke Belanda, kau harus pergi ke Museum Multatuli. Lokasinya berada di Amsterdam.” kata teman saya, Sigit Susanto, melalui percakapan di internet ketika dia mengetahui rencana saya untuk berangkat ke Belanda. Sigit adalah mantan tour guide, menikah dan menetap di Swiss, menulis perjalanannya keliling dunia dalam buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia, Jilid 1, 2, dan 3. Hingga akhirnya, musim dingin di akhir 2011, saya benar-benar sampai di Belanda. Kota tempat saya tinggal adalah Rotterdam, kota dengan pelabuhan tersibuk di Eropa.
Minggu pagi, Rotterdam mendung. Udara musim dingin membuat orang-orang berjalan tergesa-gesa. Gugusan awan abu-abu menyiratkan tentang kemungkinan akan turun hujan.  Hari ini kami berencana menghabiskan hari minggu di Amsterdam. Janneke Berkhof, teman saya di Rotterdam yang mengusulkan untuk mengunjungi Amsterdam pada saat weekend. Perempuan itu mengusulkan beberapa tempat yang menjadi tujuan para wisatawan di Amsterdam untuk kami singgahi. Namun saya berpikir, jika harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam waktu singkat, saya tidak akan bisa menikmati perjalanan tersebut. Paling-paling hanya mampir, memotret, kemudian pergi. Bukan itu tujuan saya.

“Saya ingin ke museum Multatuli.” Kata saya kepada Janneke. Diapun mencatatnya dan mencari informasi mengenai museum tersebut lewat internet. Meskipun ia orang asli Belanda, namun Janneke mengaku tidak terlalu sering ke Amsterdam. Sambil menunggu Janneke sibuk dengan google map di internet, saya membuka laman facebook dan menemukan status seorang teman, “Segera meluncur menuju ‘Wereld Huis’, Amsterdam. Merayakan hari pekerja migran internasional. Perut bakal diganjal rawon, sambal terasi, nasi liwet anget kebul, lontong dan telor flores.”
Saya tidak tau dimana lokasi Wereld Huis. Namun rawon, sambal terasi, nasi liwet membuat saya penasaran dan ingin tau. Status facebook tersebut berasal dari Siswa Santoso salah seorang warga Indonesia yang sudah bertahun-tahun berada di Belanda. Karena saya penasaran dengan rawon dan sambal terasi, saya tulis komentar di bawah status tersebut bahwa saya juga akan berangkat ke Amsterdam hari ini. 3 menit berselang, komentar saya ditanggapi.
          ”Pay, ayo bergabunglah. Kami tunggu di Wereld Huis: Nieuwe Herengracht 20, Amsterdam. Dekat Waterloplein. Dari Central Station naik metro atau tram turun di Waterlooplein. Jangan lewat pukul 13.00 kalau tidak mau kehabisan rawon dan telor flores! Jabat erat!”
Undangan dari Siswa untuk ikut bergabung saya sampaikan ke Janneke. Ternyata dia tidak keberatan untuk ikut mampir pada pertemuan tersebut.
Pukul 11.00 saya dan Janneke sampai di Central Station Rotterdam setelah berjalan kaki melawan angin yang sangat kencang dan cuaca yang sangat dingin. Perjalanan dengan kereta dari Rotterdam menuju Amsterdam kurang lebih 1 jam. Di luar jendela, kami melihat titik-titik hujan jatuh. Sesampainya di Central Station Amsterdam, kami lanjut naik Metro menuju Waterplooein seperti yang disarankan oleh Siswa. Amsterdam Central Station dan Waterlooplein tidak jauh. Kurang dari 10 menit kami sudah sampai. Yang jadi masalah kemudian kami tidak bisa menemukan dimana alamat ‘Wereld Huis’ yang katanya tak jauh dari Waterlooplein.
jembatan penghubung kanal yang bisa buka tutup
Karena saya dan Janneke sama sekali buta soal Amsterdam, saya memutuskan untuk menelpon Siswa. Saya katakan kepadanya bahwa kami sudah di Waterlooplein, dan kemana lagi kami harus melangkah. Namun ternyata Siswa juga tidak bisa memberitahu dengan detil alamat yang hendak kami tuju. Ia mengatakan bahwa dirinya sedang berada di dalam mobil dan sedang sibuk mencari tempat parkir.
Saya dan Janneke memperhatikan sekeliling. Siapa tau saja ada orang yang bisa ditanyai. Nihil. Beberapa orang yang kami lihat sibuk dengan peta yang mereka bawa. Tak jarang juga kami menemui orang-orang yang sibuk memotret dan dipotret. Sementara orang-orang yang lain, menurut Janneke, mereka adalah orang-orang Belanda, terlihat berjalan tergesa. Sepertinya mereka tidak mau terganggu tentang pertanyaan tentang alamat oleh para turis. Kami terus memperhatikan sekeliling sampai akhirnya kami menemukan beberapa orang terlihat berdiri sambil melihat billboard di tengah jalan. Kami mendekat. Ternyata billboard tersebut merupakan peta Amsterdam. Tak kami sia-siakan waktu untuk bergabung. Setelah beberapa menit telunjuk Janneke menelusuri peta, akhirnya dia menemukan jalan Nieuwe Herengracht.
“Kalau peta ini tidak berbohong, alamat yang kita cari tidak jauh dari sini. Mungkin 5 menit jalan kaki, atau bahkan kurang.” Kata Janneke. Saya menurut saja. Kemudian kami melangkah, mencari nama jalan Nieuwe Herengracht.
Amsterdam memang indah. Kanal, bangunan tua, tulip, kincir angin, sepeda, dan banyak lagi atraksi yang lain membuat siapa saja akan betah berlama-lama di tempat ini. Kami meninggalkan peta di tengah jalan dan menyebrang. Namun tiba-tiba Janneke berhenti sebab di depan kami ada beberapa simpang, jembatan, dan kanal-kanal.
“Kemana kita?” Tanya saya.
“Tidak tau.” Janneke terus menduga-duga, simpang mana yang harus kami pilih untuk menemukan jalan Nieuwe Herengracht yang kami cari. Sementara aku, sebenarnya tak hirau dengan arah mana yang harus kami tempuh. Bahkan, jikapun kami harus tersesat, sungguh aku akan menikmatinya.
Waterlooplein merupakan square yang terletak di pusat kota Amsterdam. Dalam bahasa Belanda, plein berarti square atau plaza. Dinamakan Waterlooplein karena daerah tersebut berada di dekat sungai Amstel. Sungai yang menjadi cikal bakal kota Amsterdam. Nama kota ini berasal dari kata Amstelredamme, yang merupakan asal usul kota ini, yaitu sebuah bendungan (dam) di sungai Amstel. Dulunya dihuni sebagai desa nelayan kecil pada akhir abad ke-12, Amterdam menjadi salah satu pelabuhan terpenting di dunia selama masa kejayaan Belanda. Di Sungai Amstel sendiri terdapat banyak kanal, sebut saja misalnya Prinsengracht, Keizergracht, Heregracht, dan sebagainya. Dan alamat yang kami cari, berada di salah satu kanal di pinggiran Sungai Amstel. Tak heran kemudian, Sungai Amstel pada saat ini merupakan daerah yang harus dikunjungi wisatawan yang datang ke Amsterdam. Inilah sungai, surga para pelancong di tengah-tengah kota Amsterdam. Sungai ini selain indah, bersih, dan menawan, juga sarat dengan sejarah.
Sedangkan aku, yang awalnya tidak ada rencana untuk berkunjung ke Sungai Amstel, pun pada akhirnya, ikut tersesat dan menikmati keindahannya. Aku dan Janneke terus berjalan menelusuri pinggiran. Sementara Janneke terus sibuk mencari nama jalan yang berada di sisi sebelah kiri, mataku tak henti dibuat takjub dengan kapal-kapal yang parkir maupun berjalan menelusuri badan kanal. Di kejauhan burung-burung pencari ikan terbang rendah. Satu dua di antara mereka masuk ke air yang sangat dingin karena musim, kemudian keluar lagi dengan ikan di cengkraman kaki maupun paruhnya.
Rasa takjubku yang lain ketika melihat deretan kapal yang bersandar di pinggiran sungai. Kapal-kapal ini berbentuk rumah. Menurut Janneke kapal-kapal tersebut sekaligus merupakan tempat tinggal. Populer dengan nama houseboat. Orang-orang yang bermukim di houseboat tergabung dalam komunitas warga. Kehidupan mereka normal seperti masyarakat yang tinggal di apartemen maupun rumah-rumah di daratan (landhouse). Bahkan mereka memiliki mobil yang di parkir di tempat khusus, alamat surat, listrik, internet, fasilitas MCK dan lain sebagainya. Uniknya mereka bisa berpindah dari kanal satu ke kanal lainnya.
Sudah lebih dari setengah jam kami berjalan. Namun kami tak juga menemukan alamat yang kami cari. Kami benar-benar tersesat. Inilah pengalaman tersesat di suatu daerah yang sangat mengesankan bagiku. Untuk menyeberangi kanal, kami melewati jembatan. Sepeda-sepeda parkir berjejer dengan rapi di sisi jembatan. Tiap sepeda yang parkir sudah pasti memiliki gembok demi alasan keamanan. Betapa tidak, sepeda adalah alat transportasi utama di Belanda. Tidak memiliki sepeda di Belanda, berarti tidak memiliki “kaki”. Sepeda pula yang menjadi raja jalanan di tiap sudut Belanda. Jika di Jakarta, sebagai pejalan kaki kita harus hati-hati dengan kendaraan bermotor yang berseliweran, di Belanda kendaraan bermotor tak perlu dikhawatirkan, sebab mereka punya jalur sendiri dan selalu tertib di jalanan. Justru di Belanda kita harus hati-hati terhadap sepeda. Di jalanan, jumlahnya ribuan. Mulai dari mereka yang berangkat sekolah, ke kantor, ke pasar, mengantar anak bermain, semua aktivitas di jalanan mulai dari masyarakat paling miskin sampai pejabat negara menggunakan sepeda. Itulah alasan orang-orang untuk menjaga betul-betul sepeda mereka dengan tingkat keamanan tinggi ketika di parkir. Bahkan saya pernah melihat sepeda dengan ukuran gembok dengan rantai sebesar kaki anak kecil. Luar biasa.
Selain berfungsi sebagai tempat parkir sepeda, jembatan-jembatan tersebut juga dapat terbuka untuk memberi jalan bagi kapal-kapal untuk lewat. Sungguh luar biasa keseriusan pemerintah Belanda dalam membangun tata kotanya. Di setiap sudut “Negeri di bawah laut” ini, baik darat, air, maupun lautnya berfungsi secara tertib, rapi, teratur dan maksimal untuk kelangsungan hidup warganya. Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia yang oleh orang-orang Belanda ratusan tahun lalu dibangun dengan konsep yang hampir sama seperti pembangunan di Belanda sejak ratusan tahun lalu, hari ini berubah total. Banjir, tumpukan sampah di sungai/kanal, kemacetan jalan raya, adalah peristiwa rutin yang terjadi di negeri kita tercinta ini.
Hermitage Amsterdam
Kembali ke Sungai Amstel, setelah menyeberangi jembatan dan mengabadikan beberapa gambar, saya dan Janneke melanjutkan langkah. Untuk kesekian kalinya saya meminta Janneke berhenti. Bukan karena lelah, melainkan takjub. Di pinggir jalan yang kami lewati, tepat di seberang sungai terdapat bangunan kokoh bergaya klasik berwarna tanah. Di dinding atas pintu masuk bangunan klasik tersebut bertuliskan Hermitage Amsterdam. Hermitage Amsterdam adalah bangunan yang telah berdiri sejak tahun 1681. Bangunan ini dibuka pada 1682 sebagai rumah pensiun untuk perempuan tua. Bangunan yang terletak di sebelah timur Sungai Amstel tersebut sejak 1817, terbuka untuk laki-laki tua dan perempuan. Dan pada tahun 1953 bangunan ini berubah menjadi pengadilan dengan nama Amstelhof.
Selama berabad-abad, gedung ini digunakan sebagai rumah pensiun. Karena modernisasi dalam perawatan kesehatan, bangunan itu tidak lagi memadai. Bangunan ini diubah menjadi museum saat penghuni terakhir meninggalkan Amstelhof pada tahun 2007. Pada tanggal 20 Juni 2009, seluruh museum dibuka oleh Ratu Beatrix dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev. Dan hari ini Hermitage Amsterdam merupakan salah satu museum yang menjadi salah satu target tujuan para wisatawan. Berbagai pameran kecil dan besar bertaraf internasional telah diselenggarakan di museum ini. Sayang saya dan Janneke tidak memiliki waktu banyak. Sebenarnya saya ingin masuk ke dalam untuk menikmati bangunan seluas 12.846 meter persegi tersebut. Tapi Janneke segera menarik tangan saya untuk menemukan alamat yang kami cari. Di sungai Amstel saya tersesat, di Sungai Amstel saya tak ingin pulang.

Sampai akhirnya kami mentok di ujung kanal. Di depan ada jalan raya. Janneke putus asa. “Kita kembali saja ke Metro dan menuju Amsterdam Central. Bukankah tujuan utama kita adalah mengunjungi museum Multatuli?” Ajaknya. Sepertinya ia lelah dan lapar. Belum lagi dengan hawa dingin yang menyerang membuat dia tak ingin berada lebih lama lagi di tempat terbuka. Kuturuti keinginannya. Kami putar balik ke arah semula. Jika ditotal, hampir 1,5 jam kami berjalan guna mencari alamat yang tak juga kami temukan. Sudah hampir jam 2 siang. Ah, kalaupun kami akhirnya menemukan alamat yang ditulis Siswa di facebooknya, sudah pasti nasi rawon dan telur Flores dihabisi orang-orang. Tak apalah, batin saya, tak bisa makan nasi rawon bukan masalah. Saya cukup kenyang dengan suguhan Sungai Amstel yang memesona.

Namun tiba-tiba saya terkejut dengan Janneke yang menghentikan langkah kaki saya. Tepat di kanal terdekat dengan stasiun Metro, sebelum jembatan yang akan kami seberangi, tiba-tiba Janneke mengarahkan tulunjuknya ke sebuah rumah. Di dinding rumah tersebut bertuliskan nama jalan, Nieuwe Herengracht. Itulah jalan yang selama kurang lebih 1,5 jam kami cari-cari. Ternyata lokasinya memang tak jauh dari billboard peta Amsterdam yang tadi kami lihat di seberang Metro. Janneke tampak kesal. Sebab ia lelah dan lapar. Kuajak dia untuk datang menemui Siswa di Wereld Huis.

“Tapi kita sudah terlambat.” Katanya.

“Tak apa-apalah, siapa tau masih ada sisa nasi rawon. Tidak kah kau rindu dengan makanan Indonesia?” Bujuk saya. Selama sembilan bulan di tahun 2010 Janneke memang tinggal di Indonesia, dia bekerja sebagai volunteer untuk membantu anak-anak cacat di Kota Pontianak. Dan perempuan ini sangat mencintai kelezatan makanan Indonesia. Bujukan saya tentang nasi rawon cukup ampuh. Perempuan tersebut mengangguk dan kaki kami melangkah menuju Wereld Huis.

Siswa menyambut saya dengan ramah. Dia memperkenalkan saya dengan orang-orang yang telah hadir. Saya memberikan Siswa hadiah buku puisi yang saya tulis. Lelaki tersebut tampak senang sekali. Dan apa yang terjadi saudara-saudara? Di facebook, Siswa mengatakan bahwa setelah jam 1 siang, makanan terancam habis. Tapi saya dan Janneke sampai di tempat itu jam 2 lewat dan pertemuan belum dimulai. Nasi rawon dan berbagai macam makanan Indonesia belum tersentuh.

“Maaf acaranya belum dimulai. Biasalah Indonesia, masih susah melepaskan tradisi jam karet.” Siswa meminta maaf sambil tersipu malu kepada Janneke. Bukan hanya Janneke, tapi hampir seluruh orang-orang Belanda terkenal dengan tradisi tepat waktu.

“Tak apalah molor sedikit, setidaknya kami tidak kehabisan nasi rawon.” Kata saya. Kami bertiga tertawa terbahak-bahak.

                Kurang lebih 1 jam kami menghabiskan waktu di Wereld Huis. Rindu saya terhadap Indonesia terbayarkan. Kemudian kami pamit sebab harus mengejar metro ke Amsterdam Central agar tak kehilangan waktu untuk berkunjung ke Museum Multatuli. Museum yang dulunya merupakan rumah kediaman dari keluarga besar Douwes Dekker tersebut terletak tak jauh dari Amsterdam Central. Kami berjalan menuju Dam Square. Ribuan manusia tumpah. Sebagian besar dari mereka adalah turis asing. Beberapa coffee shop, tempat orang-orang membeli ganja secara legal, toko souvenir, sex museum, hotel, dan tak ketinggalan kentang goreng Belanda yang sangat terkenal. Di tengah-tengah Dam Square, beberapa manusia patung menjadi objek foto favorit bagi para turis. Setelah berpose bersama manusia-manusia patung tersebut, mereka melemparkan uang koin di kaleng yang telah disediakan. Saya dan Janneke pun ikut ambil bagian.

                Setelah kurang lebih 15 menit di Dam Square, kami berjalan menuju museum Multatuli. Terima kasih Tuhan, museum tersebut masih buka. Seorang lelaki setengah baya menyambut kami dengan ramah. Lelaki itu memperkenalkan diri dengan nama Willem van Duijen. Dialah kurator Museum Multatuli. Detil dia menceritakan sejarah Edward Douwes Dekker jauh lebih detil dari pelajaran sejarah waktu saya masih di sekolah.

                “Teman saya bernama Sigit Susanto yang menyarankan saya mampir ke sini.” Kata saya kepada Willem. Mendengar itu dia tampak sangat senang. Kemudian dia membawa saya ke ruang pribadinya, dan memperlihatkan buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia jilid 1 dan 2, hadiah dari Sigit Susanto kepadanya. Willem juga bercerita bahwa tahun lalu dia pernah berkunjung ke Lebak, dimana Edward Douwes Dekker pernah bekerja dan menulis novel yang sangat terkenal dengan judul Max Havelar.

                Pukul 5 sore, Multatuli Museum tutup. Saya dan Janneke Pamit. Kemudian kembali ke Central Station Amsterdam untuk naik kereta pulang ke Rotterdam. Musim dingin membuat hari lebih singkat dari biasanya. Di luar jendela, perjalanan menuju Rotterdam dipenuhi lampu-lampu yang begitu indah. Saya masih belum bisa melupakan betapa berkesannya tersesat di Sungai Amstel. Kesan yang tak akan pernah hilang sampai hari ini dan nanti.

 

Pay Jarot Sujarwo, pencatat perjalanan

3 comments

  1. lari dari rumah yang mengesankan, negeri orang memang begitu mengagumkan, atau bahkan bisa disebut terlihat mengagumkan. tempat asing menciptakan atmosfer sendiri bagi kita sehingga merasa nyaman. dalam setiap perjalanan kita menemukan pengalaman-pengalaman, namun yang terpenting dari semua itu adalah pelajaran.

    ReplyDelete
  2. i like
    sukses ya buat bang PJ Sujarwo
    by: http://sukarditb76.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. i like :)
    sukses untuk bang PJ Sujarwo

    Blog: http://sukarditb76.blogspot.com
    FB :imam sukardi al-gani
    Twit : @sukardi_KPI

    ReplyDelete

My Instagram