Marvelous Vitosha

Hamparan Kota Sofia yang terlihat dari gondola menuju Vitosha
Setelah dua minggu saya berada di Bulgaria, akhirnya saya berkesempatan mengunjungi gunung Vitosha. Gunung yang memiliki ketinggian 2.290 meter ini merupakan salah satu lokasi wisata paling terkenal di Bulgaria. Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Kota Sofia, Ibu Kota Bulgaria (kurang lebih 45 menit dengan bus kota), membuat gunung ini menjadi pemandangan menakjubkan dari tengah-tengah kota. The National Palace of Culture atau yang juga dikenal dengan Endeka Building, adalah lokasi yang paling pas untuk menikmati keindahan gunung yang menjadi tempat favorit penggila olah raga ski di Bulgaria ini.

Saya mengetahui tentang gunung Vitosha, jauh hari sebelum saya berada di Bulgaria. Waktu itu seorang teman asal Bulgaria, Elena Ruseva, sempat berkunjung ke kota saya, Pontianak, dan memberikan oeh-oleh buku tur guide dan beberapa foto tentang Bulgaria kepada saya. “Suatu hari kalau kamu ke Bulgaria, kamu harus ke gunung Vitosha,” kata Elena kepada saya. Ucapan Elena dan beberapa informasi yang saya dapat dari buku tur guide serta internet, membuat saya tidak sabar untuk membuktikan keindahan ciptaan Tuhan ini dengan mata kepala saya sendiri.


Namun ketika saya sampai di Bulgaria dan mengutarakan keinginan untuk pergi ke Vitosha, Elena mengatakan bahwa sebaiknya saya tidak terlalu buru-buru, karena cuaca di atas gunung teramat sangat dingin. Saya pun disarankan untuk setidaknya beradapasi terlebih dahulu dengan cuaca musim dingin selama dua minggu. Semula saya protes, tapi setelah saya benar-benar berada di Vitosha, barulah saya bisa memahami saran teman saya ini dua minggu yang lalu. Beruntung saya dapat pinjaman jaket khusus untuk di pegunungan musim dingin, jika tidak, saya tidak dapat membayangkan diri saya yang hanya bisa menggigil begitu sampai di Vitosha. Temperatur pada waktu itu menunjukkan angka minus 5 derajat celcius.

Sabtu, 13 Maret 2010, kami berangkat bertiga, saya, Elena dan seorang teman lagi, Iva namanya. Dengan menggunakan bis dari stasiun bis di Sofia. Untuk diketahui para foreigner, sebelum kita naik transportasi umum tengah kota di Bulgaria, seperti trem maupun bis kota, ada baiknya membeli tiket terlebih dahulu seharga 1 Leva (Leva adalah mata uang Bulgaria yang jika di-rupiah-kan kurang lebih sebesar Rp. 6.000 – 7.000). Sebagian orang biasanya membeli tiket dengan supir bis, namun jika kebetulan supir bis tidak memiliki tiket dan sepanjang perjalanan ada pengecekan tiket, kita bisa dikenai denda sampai 10 Leva. Iva adalah perempuan asli Bulgaria yang bisa dikatakan addicted terhadap pegunungan. Hampir setiap akhir pekannya, selalu dihabiskan di pegunungan. Kepada saya, Iva mengatakan bahwa Vitosha merupakan daerah taman nasional tertua di Balkan, dan merupakan taman nasional yang paling dikenal dan paling sering dikunjungi. Di dalam bis, Iva terlihat antusias menceritakan tentang Vitosha. Ia mengatakan bahwa Vitosha dipisahkan menjadi empat bagian utama pegunungan utama dan berkumpul di sebuah mahkota yang dikenal sebagai Cherni Vrah (black peak). Di black peak inilah titik tertinggi Vitosha yang mencapai angka 2.290 meter.

Sesekali sambil mendengarkan cerita dari Iva, kepala saya menoleh keluar jendela. Tampak dengan jelas Vitosha yang berdiri kokoh dengan salju yang menutupi punggung-punggungnya. Ini pemandangan yang luar biasa, kata saya dalam hati. Di lereng gunung terlihat bangunan yang berderet rapi. Menurut Iva, bangunan-bangunan tersebut merupakan tempat bermukim masyarakat desa di lereng vitosha. Terdapat juga beberapa resort dan real estate yang sengaja dibangun untuk memanjakan wisatawan atau para ekspatriat yang bekerja di Bulgaria.

Empat puluh lima menit kemudian, kami sampai di kaki gunung Vitosha. Tempat pertama yang kami tuju adalah stasiun kereta gantung (lift), atau yang dikenal dengan nama Simeonovo Gondola lift. Sebelum naik lift kami membeli tiket seharga 14 leva untuk pulang pergi/orang. Setiap lift berkapasitas antara 5-6 orang. Dengan waktu tempuh perjalanan sampai ke atas Vitosha kurang lebih antara 25-30 menit. Baru sekitar 5 menit kami berada di atas lift, di bawah saya melihat pemandangan yang menakjubkan. Hampar hutan cemara yang ditutupi putihnya salju di lereng Vitosha membuat saya enggan mengedipkan mata. Seketika saya membayangkan menjadi santa claus yang mengendarai kereta dengan ditarik sepasukan rusa yang meliuk-liuk di antara pohon cemara. Dan jika ada rusa yang menyenggol salah satu pohon, maka berjatuhanlah butir-butir salju dengan lembutnya. Saya tau, bahwa saya sedang tidak sedang menonton film Amerika tentang Santa yang siap memberikan hadiah Natal kepada anak-anak. Tapi ini nyata saya alami. Memang tidak ada kereta yang ditarik puluhan rusa, tidak ada Santa dengan ketawa khasnya, tapi bagi saya, ini adalah hadiah istimewa dari sang Pencipta. Jika, tidak ada Elena dan Iva, barangkali saya sudah sujud syukur di dalam gondola.

“Do you want to see the more marvelous view?” Kata Elena tiba-tiba di tengah ketakjuban saya. Tentu saja saya mau. Elena kemudian menyuruh saya membalikkan badan dan melihat ada apa di belakang saya. Saya menurut, dan... “waaaaw,” tak ada yang bisa mencegah mulut saya yang ternganga lebar ketika menyaksikan pemandangan yang berada di belakang saya. Belum puas kekaguman saya terhadap hampar hutan cemara, saya sudah disuguhi dengan pemandangan menakjudkan lainnya. Kota Sofia terhampar di belakang. Gedung-gedung pencakar langit dan ribuan bangunan lainnya terlihat begitu kecil namun menawan. Warna putih adalah warna dominan. Untuk menutupi kesan kampungan dari diri saya, segera saya mengambil kamera sekaligus mengabadikan momen yang tak akan terlupakan ini. Sementara Elena dan Iva berbincang-bincang dengan bahasa Bulgaria yang tidak saya mengerti, tak henti-hentinya saya menikmati hutan cemara di bagian depan, dan kota Sofia di bagian belakang.

Setengah jam kemudian, lift sampai dipemberhentian terakhir. Sekarang saya sudah berada di atas gunung Vitosha. Begitu keluar dari stasiun, mata saya disambut dengan hampar salju dan ratusan orang yang bermain ski.

“Hari ini kebetulan ada turnamen ski untuk anak-anak,” Kata Elena kepada saya setelah dia mendengar suara dari pengeras suara. Kami segera menuju lokasi dimana orang berkerumun untuk menyaksikan anak-anak usia 6 – 12 tahun bermain ski. Iva lalu menjelaskan bahwa pada musim dingin, ada banyak sekali turnamen ski yang diselenggarakan diVitosha. Menurut Iva, kalaupun tidak ada turnamen, setiap akhir pekan tempat ini selalu dipenuhi dengan orang-orang yang bermain ski. Mulai dari mereka yang baru belajar, sampai mereka yang profesional.

Melihat saya yang menggigil kedinginan, Elena dan Iva mengajak saya pergi ke restoran yang tak jauh dari arena ski. Di dalam restoran suasana terasa begitu hangat. Ada banyak menu yang disajikan. Namun kami tidak makan di restoran ini. Hanya memesan tiga gelas kopi panas. Karena selain kami tidak lapar, harga makanan di sini, menurut Iva, cukup mahal. Bisa sampai dua atau tiga kali lipat dibandingkan makanan di Sofia. Di dalam restoran, Iva melanjutkan ceritanya tentang keindahan Vitosha. Menurut Iva, jika musim panas, banyak wisatawan dan para pendaki yang datang ke Vitosha. Mereka, orang-orang yang datang ke Vitosha, akan disuguhi dengan aliran air sungai. Juga terdapat beberapa air terjun yang mudah ditempuh pada musim panas. Di gunung Vitosha ini, tambah Iva, juga terdapat sebuah stasiun meteorologi yang berdiri sejak tahun 1935 dan masih beroperasi sampai sekarang. Stasiun meteorologi ini juga dapat berfungsi sebagai tempat penampungan para pendaki yang beristirahat dan merupakan markas bagi tim penyelamat gunung.

Tak puas dengan hanya cerita dari Iva, sepulang ke apartemen, saya mencari informasi tentang Vitosha di google, dan betapa terkejutnya saya ketika menemukan website yang menerangkan bahwa aktivitas pariwisata yang terorganisir di Vitosha Montain sudah dimulai sejak tanggal 27 Agustus 1895. waktu itu seorang penulis Aleko Konstantinov mengorganisir 300 wisatawan untuk mendaki puncak Cherny Vrah (Black Peak). Empat tahun berselang (1899) dua puluh tujuh orang peserta kemudian berinisiaatif mendirikan klub turis pertama di Bulgaria dan menamakannya Shtaslivetsa (yang bahagia). Ini merupakan awal gerakan turisme di Bulgaria (www.park-vitosha.org).

Semenjak saat itu, ada banyak organisasi turis yang bermunculan. Dari tahun ke tahun, pemerintah Bulgaria, travel agency, organisasi pecinta alam, pengusaha hotel, semakin serius untuk membangun pariwisata di Bulgaria, khususnya Vitosha. Hingga sampai hari ini terdapat kurang lebih 1.500.000 wisatawan yang berkunjung ke Vitosha setiap tahunnya.

Tiba-tiba saja saya teringat dengan Indonesia. Di Indonesia terdapat banyak sekali taman nasional maupun wisata alam dan budaya yang tidak kalah menarik dengan Vitosha, ataupun Bulgaria secara umum. Namun sayang, kekayaan alam yang melimpah ruah ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pihak-pihak yang berkompeten. Jika bicara wisata Indonesia, turis-turis asing, sebagain besar hanya terokus pada Bali, Pulau Jawa, Toraja, Bunaken, ataupun resort raja ampat di Papua. Sementara ratusan atau bahkan ribuan tempat yang lain yang terletak di lebih dari 17.000 pulau di Indonesia, seolah kurang mendapat perhatian. Tentu saja ini bukan cuma tugas permerintah, melainkan pe-er kita bersama.

Hari sudah semakin sore. Sebenarnya saya masih betah berlama-lama di Vitosha. Tapi pukul 17.00, adalah waktu terakhir untuk bis yang kembali ke Sofia. Sebelum pulang, saya menyempatkan diri bermain dengan salju sebentar, membikin bola-bola salju, lalu seperti anak-anak yang begitu riang, saling lempar antara saya, Elena dan Iva. Sama sekali saya lupa akan suhu di bawah 5 derajat celcius. Barulah setelah berada di dalam gondola, saya menggigil kedinginan. Tidak seperti berangkat naik ke Vitosha, perjalanan tiga puluh menit turun ke bawah terasa begitu lama, karena saya sudah tidak tahan ingin ke toilet untuk buang air kecil. Brrrrrrrr. Vitosha. Meski menggigil bersamamu, selalu akan kuucapkan rindu untukmu.***

0 comments:

Post a Comment

My Instagram